MAKALAH
PERGAULAN GENERASI MUDA
Berdasarkan hasil survei Komnas Anak bekerja
sama dengan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) di 12 provinsi pada 2007 terungkap sebanyak
93,7% anak SMP dan SMU yang disurvei mengaku pernah melakukan ciuman, petting,
dan oral seks. Dan, sebanyak 62,7% anak SMP yang diteliti mengaku sudah tidak
perawan. Serta 21,2% remaja SMA yang disurvei mengaku pernah melakukan aborsi.
Dan lagi, 97% pelajar SMP dan SMA yang disurvei mengaku suka menonton film
porno (Media Indonesia,19/7/08)
Hal itu diperkuat dengan hasil survei
yang dilansir DKT Indonesia yang menyatakan bahwa 39 persen anak baru gede
(ABG) kota besar pernah melakukan seks bebas. Persentase tersebut diperoleh
dari survei yang dilakukan oleh yayasan afiliasi dari DKT Internasional yang
berkantor di Washington, Amerika, terhadap remaja dan kaum muda berusia antara
15-25 tahun. Survei yang dilakukan pada Mei 2011 itu dilakukan dengan cara
wawancara langsung terhadap 663 responden di 5 kota besar di Indonesia,
yaitu Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi), Bandung,
Yogyakarta, Surabaya dan Bali. “39 persen responden ABG usia antara
15-19 tahun pernah berhubungan seksual, sisanya 61 persen
berusia anatara 20-25 tahun,” ungkap Pierre Frederick, Senior Brand Manajer
Sutra dan Fiesta Condoms DKT Indonesia (5/12/2011) di Jakarta. Total responden
berusia 15 sampai 25 tahun semua mengaku pernah berhubungan seksual.Semua,
100 persen! Dan, mayoritas mereka melakukannya pertama kali saat usia
19 tahun. (Republika.co.id, 12/12/2011).
Selanjutnya, data yang diungkap lebih miris
lagi. Yakni, sebanyak 88 persen hubungan seks dilakukan bersama pacar, 9 persen
dengan sesama jenis (terutama wanita), dan 8 persen dengan PSK (untuk pria).
Umumnya mereka melakukan zina di tempat kos (33 persen), hotel atau motel (28
persen), sementara rumah 24 persen. Lama pacaran mereka sebelum
berhubungan seksual, rata-rata SATU tahun.
Data tersebut tak pelak, menambah miris dan
keprihatinan kita akan perilaku seksual remaja kita yang semakin hari semakin
liberal saja. Berbagai analisa pun dilakukan. Salah satu pendapat yang kemudian
cukup mengemuka adalah bahwa hal tersebut terjadi karena kurangnya informasi
yang dimiliki oleh remaja tentang kesehatan reproduksi mereka sehingga mereka
melakukan perilaku seksual yang beresiko pada terjadinya kehamilan tidak
diinginkan dengan berbagai konsekuensinya ataupun beresiko pada tertularnya
penyakit-penyakit menular seksual. Dari asumsi ini, maka digencarkanlah upaya
pemberian informasi seputar kesehatan reproduksi kepada remaja dengan bungkus
’Pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja’ atau yang biasa disingkat KRR.
Target dari Pendidikan KRR ini adalah untuk
mewujudkan perilaku seksual remaja yang aman dan sehat. Perilaku seksual remaja
yang aman artinya perilaku seksual remaja yang tidak mengantarkan mereka pada
terjadinya kehamilan tidak diinginkan berikut resiko yang menyertainya. Sehat,
artinya perilaku seksual remaja tersebut tidak mengantarkan remaja tertular
penyakit menular seksual. Strategi yang dilakukan adalah mengkampanyekan
perilaku seksual remaja yang aman dan sehat tersebut melalui seminar,
pelatihan, talk show, buzz group, konsultasi, hingga bagi-bagi kondom. Subyek
yang dilibatkan pun beragam; dari kalangan birokrat hingga para remaja yang
diharapkan bisa menjadi agen penyampai pesan yang lebih mudah diterima oleh
teman sebayanya. Media yang digunakan pun sangat variatif; dari brosur,
leaflet, buklet, hingga game dan kuis yang memang sangat menarik bagi para
remaja kita. Meski demikian variatif pelaku dan media yang digunakan, namun isi
pesan yang disampaikan tetaplah sama, yaitu kampanye ABCD (Abstinensia, Be
faithful, use Condom, no Drug) yang diiringi dengan implementasi kebijakan
kondomisasi dan harm reduction. Sebuah kebijakan yang memang diimplementasikan
di seluruh dunia, dengan digawangi UNAIDS dan WHO, termasuk di Indonesia.
Sekilas, slogan dan kampanye yang dibawa oleh
pendidikan KRR ini sangat melegakan dan ’seolah’ bisa diharapkan memperbaiki
perilaku seksual remaja kita yang liberal dan penuh resiko tersebut menjadi
perilaku seksual yang tidak lagi liberal dan beresiko. Itulah perilaku seksual
remaja yang aman, sehat dan bertanggung jawab. Benarkah demikian ?
’Penyesatan’ di balik Slogan ’Pendidikan’
Dikatakan sebuah tindakan adalah pendidikan,
jika di dalamnya dilakukan sebuah proses untuk membuat anak didik menjadi orang
yang secara kognitif menjadi tahu dari ketidaktahuannya akan sesuatu kebenaran,
secara afektif kemudian menerima kebenaran tersebut dengan penuh kerelaan, dan
secara psikomotor kemudian bisa kita lihat bagaimana kebenaran yang sudah
dipahaminya tersebut dia implementasikan dalam perilakunya sehari-hari. Nah
pertanyaan yang mestinya muncul dan harus kita jawab terlebih dahulu sebelum
kita mengadopsi dan melakukan pendidikan KRR ini adalah: ”Benarkah Kampanye
ABCD adalah sebuah Pendidikan bagi remaja kita?” Mari kita lihat!
Sebelum kampanye ABCD dilakukan, dalam setiap
penyampaian Pendidikan KRR selalu diawali dengan mengajak remaja untuk memahami
proses pubertas yang mereka alami, dengan berbagai perubahan yang terjadi pada
tubuh (fisik), mental dan libido mereka. Benang merahnya adalah bahwa eksplorasi
seksual pada masa pubertas ini adalah sesuatu yang wajar dilakukan oleh remaja,
karena kondisi libido mereka yang memang lagi tinggi-tingginya. Namun agar
tidak sampai terjatuh pada resiko mengalami kehamilan tidak diinginkan dan
tertular penyakit menular seksual, yang seringkali menjatuhkan remaja kita pada
resiko lain berikutnya (putus sekolah, aborsi hingga meninggal dunia pada usia
muda), maka perilaku seksual mereka haruslah senantiasa ’aman’ dan ’sehat’,
dengan melakukan ABCD. Dengan demikian remaja dikatakan sudah memiliki perilaku
seksual yang bertanggung jawab.
Apakah kampanye ABCD itu? A
adalah Abstinensia, artinya bahwa mereka tidak boleh melakukan hubungan
seksual sebelum menikah. Ini adalah sebuah informasi yang benar, yang harus
kita dukung kampanye dan implementasinya. Kita harus membuat remaja melihat
(dengan proses edukasi dan sosialisasi) bahwa inilah satu-satunya pilihan bagi
mereka, kalau mereka belum menikah. Dan bahwa melakukan seks sebelum menikah
adalah kesalahan, keharaman, yang membawa kerugian tidak hanya sekarang di
dunia, namun juga kelak di akhirat. Sembari kita ciptakan lingkungan yang
kondusif di sekitar remaja kita agar mereka mudah untuk mencegah diri dari
melakukannya, baik karena faham atau karena terpaksa (’takut’ terhadap ancaman
sanksinya).
Sayangnya, pada pendidikan KRR ini,
Abstinensia (A) hanyalah salah satu opsi yang bisa diambil oleh remaja kita,
dan bukannya satu-satunya opsi. Terlebih ketika dikaitkan dengan informasi awal
yang mengatakan bahwa melakukan eksplorasi seksual pada masa pubertas ini
adalah sesuatu yang wajar. Sehingga kalaupun ternyata mereka tidak bisa
bertahan untuk memilih opsi Abstinensia (A) adalah suatu hal yang wajar juga.
Karena itulah ada pilihan lain yang bisa diambil, yakni B (Be faithful) atau
setialah. Pada siapa? Tentu saja kalau pertanyaan ini ditanyakan, secara teori
akan kita dapatkan jawaban: setia pada suami dan istri masing-masing tentunya.
Tapi, pada konteks KRR ini, benarkah yang dimaksud setia di sini adalah agar
para remaja kita setia pada suami atau istri mereka? Apakah benar siswa-siswi
setingkat SMP-SMA yang menjadi sasaran pendidikan KRR ini memiliki suami/istri?
Tentu saja tidak!. Lalu apa maksud dari mereka harus setia di sini? Mereka
harus setia pada siapa? Di titik inilah celah liberalisasi seksual di kalangan
remaja kita justru dibuka oleh ’pendidikan’ ini. Karena yang dimaksudkan di
sini adalah agar remaja kita setia pada pacar atau pasangan mereka. Lalu apa
makna tersirat yang bisa dipahami oleh remaja kita dengan adanya pilihan
’setialah pada pasanganmu’ kalau kamu tidak bisa ’abstinensia/puasa seks’
sebelum menikah? Bukankah itu artinya adalah bahwa mereka boleh ngeseks,
asalkan dengan pacarnya, dan mereka melakukannya hanya dengan pacarnya (setia)
saja. Apakah ini yang disebut ’pendidikan’?Ataukah ini adalah ’penyesatan’ yang
dibungkus label ’pendidikan’ ?!
Aroma penyesatan (liberalisasi) pada
pendidikan KRR ini pun lebih jelas lagi, ketika diberikan opsi berikutnya
yakni use Condom (C) seandainya remaja kita (dalam melakukan
eksplorasi seksualnya tadi) tidak bisa setia (baca: hanya melakukannya) dengan
pacarnya. Bukankah implisitnya itu berarti kita membolehkan mereka
bergonta-ganti pasangan, asalkan mereka memakai kondom. Dikatakan, kondom
memiliki dual protection. Dengan kondom mereka bisa terproteksi dari
kemungkinan terjadinya kehamilan tidak diinginkan, dan juga dari tertularnya
penyakit menular seksual. Singkatnya, remaja kita bisa tetap memiliki perilaku
seksual yang aman dan sehat (meski bergonta-ganti pasangan) dengan kondom.
Jargon yang digembar-gemborkan: ‘safe sex use condom’. Pertanyaannya sekarang:
Apakah ini adalah informasi yang benar ?
Secara factual, kondom terbukti tidak mampu
mencegah penularan HIV. Hal ini karena kondom terbuat dari bahan dasar latex
(karet), yakni senyawa hidrokarbon dengan polimerisasi yang berarti mempunyai
serat dan berpori-pori. Dengan menggunakan mikroskop elektron, terlihat tiap
pori berukuran 70 mikron, yaitu 700 kali lebih besar dari ukuran HIV-1, yang
hanya berdiameter 0,1 mikron. Selain itu para pemakai kondom semakin mudah
terinfeksi atau menularkan karena selama proses pembuatan kondom terbentuk
lubang-lubang. Terlebih lagi kondom sensitif terhadap suhu panas dan dingin,
sehingga 36-38% kondom sebenarnya tidak dapat digunakan. Ini terbukti adanya
peningkatan laju infeksi sehubungan dengan kampanye kondom 13-27% lebih.
Secara rasional, di saat budaya kebebasan seks
tumbuh subur, ketaqwaan yang kian tipis (bahkan mungkin tidak ada), kultur yang
kian individualistis, kontrol masyarakat semakin lemah, kemiskinan yang kian
menghimpit masyarakat, maraknya industri prostitusi, dan ketika seseorang tidak
lagi takut dengan ancaman ’azab’ Tuhan, melainkan lebih takut kepada ancaman
penyakit mematikan ataupun rasa malu karena hamil di luar nikah, maka
kondomisasi dengan propaganda dual proteksinya jelas akan membuat remaja
semakin berani, ’nyaman dan aman’ melakukan perzinahan. Sekalipun sebenarnya
kondisi ’nyaman dan aman’ tersebut adalah semu. Mengapa semu? Karena seks bebas
akan tetap dimurkai Allah SWT meskipun menggunakan kondom.
Sementara opsi D (no Drug) disampaikan
karena saat ini mulai ada trend peningkatan penularan HIV-AIDS melalui
penyalahgunaan narkoba (terutama suntik). Opsi no Drug yang berarti ‘jangan
pernah menggunakan narkoba’ adalah sebuah content kampanye yang benar,
sebagaimana content kampanye Abstinensia (tidak melakukan hubungan seks sebelum
menikah). Sayangnya, lagi-lagi, kampanye ini tidak pernah berani dengan tegas
mengatakan bahwa itulah satu-satunya opsi yang boleh diambil oleh remaja kita
sembari kita ciptakan lingkungan kondusif agar remaja kita tidak terjerumus
pada penyalahgunaan narkoba. Justru sebaliknya, belum all out mengupayakan hal
tersebut, kampanye ini justru memperkenalkan ‘strategi’ baru untuk tetap bisa
menggunakan narkoba namun dengan resiko yang lebih rendah ketimbang menjadi
pengguna narkoba suntik (penasun). Strategi itu kita kenal dengan istilah ‘harm
reduction, yakni tindakan memberikan jarum suntik steril dan subsitusi metadon
bagi penyalahguna NARKOBA suntik. Benarkah upaya ini akan mengurangi risiko
penularan HIV/AIDS ? Jawabannya jelas tidak. Mengapa ?
Subsitusi adalah mengganti opiat (heroin)
dengan zat yang masih merupakan sintesis dan turunan opiat itu sendiri,
misalnya metadon, buphrenorphine HCL, tramadol, codein dan zat lain sejenis.
Subsitusi pada hakekatnya tetap membahayakan, karena semua subsitusi tersebut
tetap akan menimbulkan gangguan mental, termasuk metadon. (Hawari, D. , 2004)
Selain itu metadon tetap memiliki efek adiktif. (Bagian Farmakologi. FK. UI.
Jakarta.2003) Sementara itu mereka yang terjerumus pada penyalahgunaan NARKOBA
termasuk para IDU pada hakikatnya sedang mengalami gangguan mental organik dan
perilaku, dimana terjadi kehilangan kontrol diri yang berikutnya menjerumuskan
para pengguna NARKOBA dan turunannya tersebut pada perilaku seks bebas.
Adapun pemberian jarum suntik steril kepada
penasun agar terhindar dari penularan HIV/AIDS, jelas merupakan strategi yang
sangat absurd. Ketika seorang pemakai sedang ’on’ atau ’fly’ karena efek
narkoba suntik tersebut, mungkinkah masih memiliki kesadaran untuk tidak mau
berbagi jarum dengan teman ’senasib sepenanggungannya’?! Di saat seperti itu,
masihkah mereka memiliki kesadaran yang bagus tentang bahaya berbagi jarum suntik
bersama, padahal pada saat yang sama mereka sudah lupa (baca: tidak sadar lagi)
bahwa memakai narkoba suntik sebagaimana yang mereka lakukan sekarang -dengan
atau tanpa berbagi jarum suntik- adalah hal yang membahayakan kesehatannya?!
Lagi pula, sudah menjadi hal yang dipahami bahwa mereka-mereka yang sudah
terlanjur ’terperangkap’ dalam jerat gaya hidup yang rusak ini biasanya
memiliki rasa kebersamaan dan solidaritas yang sangat tinggi dengan
teman-temannya sesama pemakai. Dari temanlah mereka pertama kali mengenal
narkoba, dan bersama teman jugalah mereka kemudian bersama-sama berpesta
narkoba. Hal ini dibuktikan oleh tingginya angka kekambuhan akibat bujukan
teman-teman. Dan biasanya setiap pemakai memiliki peer group dengan anggota
9-10 orang.
Simpulan dan Penutup
Sebenarnya aroma liberalisasi ini kalau kita
mau jernih dan jujur bisa kita lihat sejak dari tujuan apa yang ingin diraih
dengan dilakukannya pendidikan KRR ini: ’sekedar’ mewujudkan perilaku seksual
remaja yang sehat dan aman, bukan mewujudkan perilaku seksual remaja yang
’benar’. Maka standard yang dipakai bukanlah halal-haram atau benar-salah.
Masalah perilaku seksual remaja ini hanya dipandang sebagai masalah medis saja.
Yakni bahwa banyak remaja kita yang menjadi korban di tempat-tempat aborsi dan
menjadi pengidap penyakit mematikan, meregang nyawa hingga kehilangan
kesempatan untuk melaksanakan tugasnya menjadi generasi masa depan, karena itu
harus diselamatkan. Caranya dengan mencegah mereka dari mengalami kehamilan
tidak diinginkan (mewujudkan seks aman), dan mencegah mereka dari tertular
penyakit menular seksual (mewujudkan seks sehat), tanpa melihat lebih ke akar
masalah mengapa hal tersebut terjadi. Alhasil, pendidikan KRR yang diharapkan
bisa merubah perilaku seksual remaja yang saat ini sudah begitu liberal tidak
hanya mengalami kegagalan, namun malah menimbulkan masalah baru yakni semakin
liberalnya perilaku seksual remaja kita saat ini.
Bila dicermati secara seksama, muatan
liberalisasi seks yang kental dalam kampanye ABCD ini memang tidak dapat
dilepaskan dari pemikiran yang mendasari gagasan kampanye ABCD itu sendiri.
Yaitu gagasan pemenuhan hak-hak reproduksi yang tidak harus dalam bingkai
pernikahan. Pandangan ini disampaikan pada Konferensi Wanita di Bejing, tahun
1975 dan dikuatkan pada Konfrensi Kependudukan Dunia Tahun 1994 di Kairo (ICPD,
1994). Dari konferensi inilah bertolak strategi-strategi penanganan masalah
reproduksi yang saat ini diterapkan di dunia, termasuk Indonesia.
Sejatinya strategi-strategi tersebut, termasuk
diantaranya konsep pendidikan KRR ini adalah sebuah konsep yang lahir dari
paradigma berfikir yang sekuleristik, liberalistik, materialistik dan
individualistik. Dikatakan liberalistik karena menjauhkan agama dari pengaturan
kehidupan, termasuk pengaturan dalam memenuhi naluri seksual ini. Liberalistik
karena menjadikan kebebasan individu termasuk kebebasan bertingkah
laku/kebebasan mengatur kehidupan reproduksi sebagai hal yang diagung-agungkan
bahkan diatas pengaturan Tuhan/agama. Materialistik karena menjadikan
nilai-nilai materi dan kenikmatan fisik sebagai ukuran kebahagiaan yang harus
dikejar. Individualistik karena menjadikan problematika perilaku seksual remaja
ini menjadi permasalahan individu remaja itu sendiri, yang akan dianggap
selesai begitu sang remaja tersebut mau menanggung akibat/resiko dari perilaku
seks bebasnya.
Dari sini, bisa kita lihat banyaknya kalangan
yang menolak Konsep KRR ala ICPD ini bukanlah sebuah penolakan yang
membabi-buta terhadap semua hal yang berbau ’Barat’ ataupun penolakan tanpa
alasan. Akan tetapi lebih karena kesadaran akan bahaya ’penyesatan’ dan
’liberalisasi’ terhadap generasi yang ada di dalam konsep pendidikan KRR ini.
Sebuah ‘penyesatan’ dan upaya ‘liberalisasi’ remaja kita yang dibungkus rapi
atas nama Pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja. Akankah kita menerima dan
ikut-ikutan mengkampanyekannya hanya karena itulah strategi yang ditawarkan
oleh UNAIDS dan WHO? Sudah saatnya negeri yang dikenal relijius ini merumuskan
sendiri strategi penanganan masalah reproduksi remaja yang berparadigma
Ilahiyah. Wallahu A’lam.